Gelombang Kedua India dan Bom Waktu di Indonesia
Jakarta, Indonesia --
Pasien Covid-19 dirawat di luar rumah sakit. Dengan nafas tersengal dan muka memelas mereka berharap mendapat perawatan lebih layak pada petugas kesehatan.
Sementara pasien-pasien lain terus berdatangan. Bukan cuma dengan ambulans, pasien yang baru datang dengan kondisi tak kalah kritis, juga datang dengan bajaj.
Petugas kesehatan rumah sakit bukan tak mau membantu. Mereka jelas punya prioritas merawat mereka yang lebih membutuhkan. Belum lagi mengurusi jenazah mereka yang meninggal karena virus mematikan yang tengah mewabah di seantero penjuru dunia.
Sementara di lokasi lain di India, rumah krematorium tak kalah sibuk. Tungku api mereka terus bekerja tak henti selama 24 jam. Media asing menyebut 'besi tungku mulai meleleh' karena api yang terus menyala untuk mengkremasi jenazah Covid.
Antrean jenazah yang menunggu untuk dibakar terus mengular. Untuk menyiasati, cara lama membakar jenazah dipakai: menggunakan kayu. Pembakaran juga dilakukan secara massal di tempat terbuka, layaknya api unggun.
India memang tengah mengalami gelombang kedua kasus Covid-19. Per
Rabu (5/5), tercatat lebih dari 20 juta orang terinfeksi. Sebanyak lebih
dari 226 ribu di antaranya meninggal dunia.
Jumlah ini menjadikan India berada di posisi kedua setelah Amerika Serikat dengan jumlah positif Covid-19 terbanyak. Dengan faskes tak sebanding dengan negeri Paman Sam, wajar saja jika India kolaps menghadapi terjangan badai kedua pandemi covid-19.
Tak kuat menghadapi sendiri, India berharap bantuan. Dari mulai oksigen untuk pasien hingga vaksin.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberi perhatian khusus pada India. Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus meminta negara lain waspada. Menurutnya apa yang terjadi di India bukan tidak mungkin juga terjadi di negara lain.
"Ini bisa terjadi di sejumlah negara lain jika kita lengah. Kita sedang dalam situasi ringkih," kata Tedros.
Ia juga mengingatkan ada lonjakan kasus global dalam sembilan pekan terakhir: tambahan kasus pekan lalu hampir sama dengan lima bulan pertama pandemi.
Lalu, apakah mungkin gelombang kedua Covid-19 di India bisa terjadi di Indonesia?
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengatakan bisa. Menurutnya bahkan tidak mungkin kondisi di Indonesia bisa lebih parah dibanding India. Ia mengatakan pengendalian pandemi Covid-19 pemerintah India lebih baik dibanding Indonesia.
"Kita sangat lemah di testing dan tracing, kita juga tidak punya vaksin andalan, ditambah kebijakan yang tidak cukup kuat. Maka, kombinasi itu bisa jadi badai Covid-19 luar biasa di Indonesia, bisa lebih parah mungkin dari India," kata Hermawan.
Sejak awal gelombang dua jadi masalah besar di India, saya adalah salah satu yang takut hal sama bisa terjadi di Indonesia. Bukan tanpa alasan, banyak faktor yang jadi alasan kita untuk khawatir.
Salah satunya adalah kondisi sosial dan budaya yang mirip. Indonesia dan India sama-sama masyarakat yang religius. Banyak kasus klaster di India yang berawal dari kegiatan keagamaan. Salah satunya dari klaster ritual umat Hindu yakni mandi di Sungai Gangga atau Kumbh Mela di mana ada 1.000 orang lebih terinfeksi Covid.
Yang patut diwaspadai, Indonesia tengah dan akan menghadapi momen di
mana mobilitas warga akan lebih padat dari biasanya yakni Ramadan dan
Lebaran. Meski tata cara beribadah salat tarawih sudah dikeluarkan, tak
ada jaminan puluhan ribu masjid akan melaksanakan ibadah sesuai protokol
kesehatan
Belum lagi kerumunan di pusat-pusat perbelanjaan dan pasar tradisional jelang Lebaran. Akhir pekan lalu, pengunjung Tanah Abang membeludak hingga 100 ribu orang. Pusat-pusat perbelanjaan lain juga sesak penuh pengunjung.
Prokes memang digembor-gemborkan, namun tak ada jaminan semua mematuhinya.
Lalu mudik lebaran. Memang sudah dilarang, namun berkaca dari tahun lalu, kebijakan ketat ini kerap dilanggar. Aksi main kucing-kucingan masih mungkin terjadi demi untuk bisa berlebaran di kampung halaman.
Silaturahmi Lebaran nanti juga patut dikhawatirkan jadi media penyebaran virus. Ketakutan warga akan virus corona tak seheboh tahun lalu. Ditambah mudik lokal di wilayah aglomerasi masih diizinkan.
Bisa dipastikan, silaturahmi Lebaran masih akan terjadi. Apakah disertai dengan prokes yang ketat? Saya kira kita semua sudah bisa bisa menebaknya bagaimana tingkat ketaatan prokes masyarakat saat ini.
Kemiripan lain antara India dan Indonesia adalah soal kepadatan populasi terutama di kota-kota besar yang selama ini jadi episentrum kasus Covid-19.
Tingkat ekonomi warga dua negara ini juga mirip: menengah ke bawah. Opsi penguncian wilayah tentu bukan pilihan bijak karena masih banyak warga yang harus keluar untuk memenuhi kebutuhan harian. Demi perut, ancaman pandemi tentu bakal diabaikan.
Faktor lain: penanganan Covid-19 di Indonesia yang selama ini dipertanyakan. Baik dari sisi pelacakan (tracing), testing maupun penanganan (treatment). Fasilitas kesehatan di Indonesia juga tak lebih baik dari India.
Saat kasus covid-19 tinggi di Januari lalu, tingkat ketersediaan tempat tidur rumah sakit di Indonesia juga nyaris penuh. Belum lagi lahan makam untuk Covid, terutama di Jabodetabek yang makin menyempit.
Salah satu pemicu utama ledakan kasus di India adalah mutasi virus yang kabarnya lebih menular. Ada dua varian virus corona di India yakni B117 dan B1617.
Namun mengingat penanganan pembatasan orang asing yang masuk ke Indonesia, kita patut khawatir. Saat negara-negara lain melarang warga India masuk, kita masih memperbolehkan meski belakangan RI juga melarang.
Data Kantor Imigrasi Bandara Soekarno Hatta, periode 11-22 April tercatat ada 454 orang warga India masuk. Termasuk 135 WN India yang diterima dengan alasan mengantongi KITAS ada 21 April lalu.
Awal pekan ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan tak hanya varian India, namun mutasi virus corona Afrika Selatan juga sudah masuk ke Indonesia.
Tak bisa dibayangkan jika kelak kita mengalami seperti India, di mana tambahan kasus Covid-19 per harinya mencapai lebih dari 300 ribu kasus. Sebagai catatan, rekor tertinggi tambahan kasus di Indonesia sebanyak 14.518 kasus pada Januari lalu.
Saya berharap kekhawatiran ini tidak terbukti kelak. Caranya tak lain dengan protokol kesehatan ketat yang wajib diterapkan. Kegiatan masyarakat harus terus berjalan untuk pemulihan ekonomi. Lockdown tentu bukan keputusan bijak untuk negara sebesar Indonesia.
Mau tak mau agar badai Covid seperti di India tak terjadi di Indonesia, prokes wajib diterapkan.
Jika prokes diabaikan, kegiatan masyarakat terutama saat Ramadan dan Lebaran seolah tidak terjadi pandemi, maka sama saja membiarkan detik-detik bom waktu terus menghitung mundur sebelum meledak keras nanti.
Ini bukan film di mana bom waktu bisa dijinakkan dengan kesempatan 50:50 dengan memotong kabel merah atau biru, dengan risiko salah potong bom akan meledak.
Bom waktu Covid bisa kita jinakkan dengan mudah tanpa harus memotong kabelnya. Sebagai warga, kita cukup dengan menekan tombol "prokes" untuk menghentikan waktunya.
Namun di sisi lain, kita juga harus terus mendorong dan mengingatkan pemerintah agar konsisten menerapkan kebijakan dibuat.
Jebolnya pengawasan orang asing, karantina WNA yang terkesan formalitas belaka, mafia karantina di bandara, serta temuan antigen bekas di Bandara Kualanamu harus jadi evaluasi pemerintah agar jangan sampai terulang kasus serupa.
Pelarangan mudik juga harus dipastikan berjalan sebagaimana yang direncanakan. Jangan ada lagi kongkalikong di jalan sehingga banyak pemudik lolos. Harus diingat, Jokowi sendiri mengatakan masih akan ada 18,9 juta orang yang nekat mudik meski dilarang di lebaran tahun ini.
Pemerintah juga harus terus meningkatkan kapasitas tracing, testing dan treatment yang saat ini masih di bawah standar WHO.
Selain itu, kapasitas vaksinasi juga harus terus digenjot pemerintah. Pasokan mesti ditambah, pola distribusi harus diperbaiki agar merata menjangkau di semua wilayah. Vaksin merah putih yang digadang-gadang jadi tonggak kemandirian vaksin Covid-19 juga sudah selayaknya terus dikebut agar kita tak terus-terus bergantung pada negara lain produsen vaksin.
Dengan begitu, badai bernama gelombang kedua, ketiga dan seterusnya bisa kita redam menuju kehidupan normal yang sesungguhnya.
.