Mitos dan Misteri Lokasi KKN di Desa Penari, Alas Purwo yang Disebut Tempat Kerajaan Jin Jum'at, 13 Mei 2022
Cerita tentang "KKN di Desa Penari" yang sempat viral kembali ramai dibicarakan, setelah diangkat ke layar lebar. Film tersebut pun kini sedang ramai ditonton oleh orang-orang di berbagai kota.
Meski begitu, sampai saat ini, lokasi yang menjadi KKN Desa Penari itu masih menjadi misteri. Kampung tersebut disebut-sebut hilang tak berbekas. Lokasi itu juga disebut-sebut sebagai hutan paling angker di Jawa, bernama Alas Purwo.
Alas Purwo diyakini sebagai kerajaan jin dan tempat berkumpulnya para jin.
Sejauh ini, lokasi KKN yang disebut-sebut terjadi pada tahun 2009 itu diyakini berada di sebuah kampung yang ada di wilayah Rowo Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Kampung itu bernama Darungan atau Pendarungan. Ada 10 rumah di kampung tersebut, namun semuanya kosong tak berpenghuni. Kampung itu disebut-sebut telah ditinggalkan oleh penduduknya pada tahun 2010 akhir.
Kisah tentang 'KKN di Desa Penari' pertama kali dibagikan oleh akun anonim di Twitter, dengan nama akun SimpleMan pada 24 Juni 2019.
Ceritanya berlangsung pada tahun 2009 akhir. Ada 2 mahasiswa dan 4 mahasiswi, semua angkatan 2005/2006 dari sebuah kampus di Kota S. Mereka adalah Widya, Nur, Ayu, Wahyu, Bima, dan Anton.
Jumlah lainnya disebutkan ada 14 orang. Namun demi fokus pada tokoh utama cerita, hanya 6 orang itu saja yang disebutkan namanya.
Mereka semua hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang dilakukan di beberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi.
Selama KKN di desa tersebut, mereka berenam mengalami serangkaian hal gaib
Dua dari mereka, yakni Ayu dan Bima, meninggal dunia karena melanggar aturan gaib.
Berikut cerita lengkap yang ditulis oleh akun Simple Man,
Tahun 2009 akhir,
Semua anak angkatan 2005/06 sudah hampir merampungkan persyaratan untuk mengikuti KKN yang di lakukan di beberapa desa sebagai syarat lanjutan untuk tugas skripsi.
Dari semua wajah antusias itu di kampus, terlihat satu orang tampak menyendiri. Widya, begitu anak-anak lain memanggilnya. Ia tampak begitu gugup, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telepon itu membuyarkan lamunanya.
"Aku wes oleh nggon KKN e (aku sudah dapat tempat untuk KKN)" katanya di ujung telpon.
Wajah muram itu berubah menjadi senyuman penuh harap.
"Nang ndi? (dimana?)"
"nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tak jamin, nggone cocok gawe KKN" (di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk di kerjakan, tempatnya cocok untuk KKN kita)."
Saat itu juga, Widya segera mengajukan proposal KKN.
Semua persyaratan sudah terpenuhi, kecuali kelengkapan anggota dalam setiap kelompok minimal harus melibatkan 2 fakultas berbeda pun dengan anggota minimal 6 orang.
"Tenang," kata Ayu, perempuan yang tempo hari memberi kabar tempat KKN yang ia observasi bersama abangnya.
Benar saja, tidak beberapa lama, muncul Bima dengan Nur. Ia menyampaikan, kelengkapan anggota 6 orang yang melibatkan 2 fakultas sudah disetujui.
"Sopo sing gabung Nur? (siapa yang sudah gabung Nur?)," tanya Ayu.
"Temenku,kating, 2 angkatan di atas kita, satunya lagi, temanya."
Lega sudah, batin Widya. Surat keputusan KKN sudah disetujui semuanya, terdiri dari 2 fakultas dengan proker kelompok dan individu, untuk pengabdian di masyarakat yang akan diadakan kurang lebih sekitar 6 minggu. Hanya tinggal menunggu pembekalan sebelum keberangkatan.
Jauh hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan kepada orang tuanya tentang progres KKN yang wajib ia tempuh. Ketika orangtua Widya bertanya ke mana projek KKN mereka, terlihat wajah tidak suka dari raut ibunya.
"Gak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B," (apa gak ada tempat lain, kenapa harus kota B). Nggok kunu nggone Alas tok, ra umum di nggoni gawe menungso (di sana tempatnya bukanya hutan semua, tidak bagus ditinggali oleh manusia)."
Wajah ibunya menegang.
Namun setelah Widya menejelaskan, bahwa sebelumnya sudah dilakukan observasi, wajah ibunya melunak.
"Perasaane ibuk gak enak, opo gak isok diundur setahun maneh (perasaan ibu gak enak, apa tidak bisa di undur satu tahun lagi)."
Widya enggan melakukanya, maka, meski berat, kedua orangtuanya pun terpaksa menyetujuinya.
Hari pembekalan sebelum keberangkatan. Widya, Ayu, Bima dan Nur, matanya melihat ke sekeliling, khawatir, 2 orang yang seharusnya ikut pembekalan belum juga terlihat batang hidungnya. Sampai menjelang siang, 2 orang muncul, menyapa dan memperkenalkan dirinya di depan mereka. Wahyu dan Anton.
Setelah basa basi, bertanya seputar rencana KKN dari A sampai Z, mereka akhirnya berangkat.
"Numpak opo dik kene? (naik apa kita nanti?)" tanya Wahyu.
"Elf mas," jawab Nur.
"Sampe deso'ne numpak Elf dik? (sampai desanya naik mobil Elf dik?)"
"Mbboten, Mas, berhenti di jalur Alas D engken enten sing jemput (tidak mas, nanti berhenti di jalur hutan D, nanti ada yang jemput)," sahut Nur.
Mendengar itu, Widya bertanya ke Ayu. "Yu, Deso'ne ra isok di liwati Mobil ta?" (Yu, apa desanya gak bisa di masuki mobil?)
Ayu hanya menggelengkan kepala. "ra isok, tapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan" (gak bisa, tapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit kemungkinan)
Di sinilah. Cerita ini dimulai.
Sesuai apa yang Nur katakan. Mobil berhenti di jalur masuk hutan D, menempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S, tanpa terasa hari sudah mulai petang, ditambah area dekat dengan hutan, membuat pandangan mata terbatas. Belum sampai di sana, gerimis mulai turun. Lengkap sudah.
Setelah menunggu hampir setengah jam, terlihat dari jauh cahaya mendekat. Nur dan Ayu langsung mengatakan bahwa mereka yang akan mengantar.
Rupanya, yang mengantar adalah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut.
"Cuk sepedaan tah," kata Wahyu, spontan, saat itu ada yang aneh.
Entah disengaja atau tidak, ucapan yang dianggap biasa di kota S, ditanggapi lain oleh lelaki-lelaki itu, wajahnya tampak tidak suka, dan sinis tajam melihat wahyu.
Hanya saja, yang memperhatikan semua sedetail itu, hanya Widya seorang. Apapun itu, semoga bukan hal yang buruk.
Di tengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri mereka tempuh dengan suara motor yang seperti sudah mau ngadat saja, ditambah medan tanah naik turun, membuat Widya berpikir kembali. Sudah hampir satu jam lebih, tapi motor masih berjalan lebih jauh ke dalam hutan.
Khawatir bahwa yang dimaksud Ayu, setengah jam lewat 15 menit adalah setengah hari, Widya mulai berharap semua ini cepat selesai. Di tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara. Aneh. Apa semua warga di sana pendiam semua.
Malam semakin gelap, dan hutan semakin sunyi sepi, namun, kata orang, dimana sunyi dan sepi di temui, di sana rahasia di jaga rapat-rapat.
Kini, rasa menyesal sempat terpikir di pikiran Widya, apakah ia siap menghabiskan 6 minggu ke depan di sebuah desa yang jauh di dalam hutan.
Ketika suara motor memecah suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar sebuah suara.
Suara familiar, dengan tabuhan kendang dan gong, diikuti suara kenong, kompyang, membaur menjadi alunan suara gamelan.
Apa ada yang sedang mengadakan hajatan di dekat sini.
Dan ketika sayup-sayup suara itu perlahan menghilang, terlihat gapura kayu, menyambut mereka.
Sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri selama 6 minggu ke depan.
"Monggo" (permisi) kata lelaki itu, sebelum meninggalkan Widya dengan motornya.
"mrene rek" teriak Ayu, di sampingnya berdiri seorang pria, wajahnya tenang, dengan kumis tebal, mengenakan kemeja batik khas ketimuran. Ia berdiri seolah sudah menunggu sedari tadi.
"kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, mau melaksanakan kegiatan KKN di kampung panjenengan" (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa teman kakakku, pak Prabu, ini teman saya yang dari kota, yang rencananya mau KKN)"
Pak Prabu memperkenalkan diri, bercerita tentang sejarah desanya, di tengah ia bercerita, Widya pun bertanya kenapa desanya harus sepelosok ini.
Dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab, "pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede cuma setengah jam kok"
(pelosok bagaimana maksudnya mbak, bukanya jarak ke jalan besar hanya 30 menit)
tatapan bingung Widya, disambut tatapan bertanya oleh semua temanya, seolah pertanyaanya kok membingungkan.
"Mbak'e paling pegel, wes, tak anter nang ndi sedoyo bakal tinggal" (mbaknya mungkin capek, jadi, mari, saya antar ke tempat dimana nanti kalian tinggal)
Di tengah kebingungan itu, Ayu menegur Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae" (maksudnya bagaimana tah Wid, kok kamu tanya seperti itu, buat saya sungkan saja kamu)
Di situ, Widya menyadari, ada yang salah.